Twitter
RSS

Islam dan Telematika

Islam dan Telematika

Asal kata TELEMATIKA itu sebenernya dari bahasa Perancis yaitu “TELEMATIQUE” yang artinya kurang lebih adalah perpaduan antara sistem jaringan komunikasi dengan teknologi informasi. Dalam wikipedia disebutkan bahwa TELEMATIKA juga sering disebut dengan ICT(Information and Communications Technology). Di situ dijelaskan juga bahwa ICT merupakan ilmu yang berkaitan dengan pengiriman, penerimaan dan penyimpanan informasi dengan menggunakan peralatan telekomunikasi. Jadi jelas bahwa TELEMATIKA merupakan teknologi baru yang lahir dari perpaduan teknologi informasi dan komunikasi. Tapi kalau anda pernah mendengar atau membaca ada yang mengatakan bahwa TELEMATIKA merupakan kependekan dari TELEkomunikasi Multimedia dan informaTIKA.
Dalam dekade terakhir ini kita telah menyaksikan berbagai perubahan yang luar biasa dan mendasar dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi yang kemudian ternyata menjadi kekuatan untuk suatu lompatan besar dari masyarakat global. Indikasi dari lompatan besar ini adalah kemajuan teknologi dan penetrasi pemakaian teknologi yang makin meluas. Kemajuan yang dramatis ini juga disertai dengan makin mudahnya akses terhadap teknologi informasi, baik karena kemudahan pemakaiannya maupun makin murahnya teknologi informasi. Salah satu hasil dari kemajuan yang dramatis tersebut adalah konvergensi antara telekomunikasi, media, dan informatika (telematika) yang merupakan pengindonesiaan dari information, telecommunication, and content (ITC). Revolusi telematika ini telah merubah tatanan ekonomi, membuka cara-cara baru dalam berbisnis, dan bahkan mempengaruhi perubahan sosial (Gates, 1999). Konvergensi yang mendorong kepada lahirnya abad informasi.
Sayangnya tanggapan umat Islam terhadap lahirnya abad informasiini amatlah rendah. Rendahnya tanggapan ini ternyata bukanlah karenafaktor demografi atau faktor ekonomi, tetapi lebih disebabkan oleh dilemayang terjadi antara kultur masyarakat Muslim dengan modernisasi abadinformasi yang seolah-olah bertolak belakang (Huff, 1997). Selain itu jugaada beberapa isu internasional seperti yang terjadi di Syria misalnya yangsampai Januari 2000 tidak memiliki satu pun Internet Service Providerkarena dianggap sebagai negara tempat teroris sehingga Amerika Serikat melarang masuknya peralatan-peralatan seperti Internet router atau server ke negara tersebut.
Di negara-negara Muslim yang relatif tidak demokratis (Freedom House Indexnya antara 5-7), pemerintahnya umumnya menerapkan regulasi atau sensor untuk menghalangi difusi Internet, baik secara langsung atau secara tidak langsung. Regulasi langsung misalnya dengan melarang ISP lokal (misalnya Iraq), atau tidak langsung misalnya dengan struktur beban biaya Internet maupun telekomunikasi yang sangat tinggi sedemikian rupa sehingga tidak dapat dinikmati oleh publik. Alasan yang sering digunakan sebagai dasar regulasi ini adalah alasan religius, misalnya untuk mencegah masuknya informasi amoral (misalnya pornografi, ajaran-ajaran agama yang dianggap sesat, dan lain-lain) yang dapat merusak warganya. Namun Huff (2001) menemukan bahwa alasan religius tersebut hanyalah kedok di balik kebijakan pemerintah untuk menekan oposisi, menyensor kritik, serta ketakutan akan hilangnya control penguasa terhadap informasi. Sebuah contoh yang menarik adalah pernyataan resmi Pemerintah Saudi Arabia pada tahun 1998 yang menyatakan bahwa belum dibukanya akses Internet untuk publik adalah karena Pemerintah sedang mencari suatu sistem yang dapat mengontrol arus informasi digital yang masuk dan mencegah arus informasi yang tidak dikehendaki oleh Pemerintah. Bisa disimpulkan di sini bahwa faktor utama dari rendahnya difusi telematika adalah ketakutan pemerintah negara-negara
Muslim terhadap kelanggengan kekuasaanya sehingga mengorbankan suatu media yang sebetulnya dapat memajukan rakyatnya.

Telematika dan Masa Depan Umat Islam
Transformasi peradaban di negara-negara Muslim tidak berjalan seperti yang terjadi di negara-negara Barat. Negara-negara Muslim umumnya menganggap diri mereka berada di dunia yang terpisah dan berbeda, memiliki pandangan yang unik, dan filsafat hidup yang berbeda dengan negara-negara non-Muslim (Huff, 2001). Munculnya Internet misalnya telah menimbulkan berbagai pertanyaan dari mereka, yang tidak Marsudi W. Kisworo“Peranan Telematika dalam Peningkatan Umat Islam” hanya bersifat religius, tetapi juga politis dan ekonomis. Internet dianggap sebagai suatu resiko dan ancaman karena sifatnya yang terbuka, setara, dan tidak mengenal batas-batas negara.
Reaksi pemerintah negara-negara Muslim terhadap mengalirnya arus informasi secara bebas melalui sarana telematika ini oleh Clement Henry (1998) dinamakan sebagai “information shy”. Pemerintah negaranegara tersebut tidak siap sehingga menjadi ketakutan terhadap terbukanya kanal-kanal informasi bebas yang diasosiasikan dengan Internet. Sumber utama dari ketakutan ini adalah problem kekaburan antara domain public dan domain privat yang merupakan praktek umum pemerintahan negaranegara Muslim. Dia mengatakan bahwa: “Even the distinction between the “public” and the “private” sectors of most countries in the region is
problematic; public officials may be less informed than ostensibly private actors enjoying close personal relations with government officials. Most economic as well as political information is kept out of any public domain, even that of government officials. Under such conditions, political reform may be a precondition for sustainable economic development”.

Sebenarnya dengan alasan untuk memelihara praktek pengkaburan domain publik dan domain privat inilah maka pemerintah negara-negara tersebut berusaha untuk mengendalikan arus informasi. Karena itulah maka tidak aneh kalau menurut laporan World Bank (2001) penetrasi Internet di negara-negara Muslim rata-rata hanya 1/200 dari penetrasi rata-rata dunia yang mencapai 12 host/seribu penduduk. Rendahnya penetrasi ini karena hampir semua penguasa politik negara-negara Muslim memiliki ketakutan dan kekhawatiran terhadap akses Internet untuk publik yang dianggap dapat mengancam kekuasaan mereka. Padahal Hill dan Hughes (1998) yang meneliti berita-berita yang berkaitan dengan negara-negara Muslim tersebut di Usenet newsgroup menemukan bahwa hanya 33% berita-berita bersifat politis. Dari seluruh berita-berita politis tersebut sekitar 24% adalah berita-berita anti pemerintah, dan 19% mendukung pemerintah, dan sebagian besar lainya adalah diskusi-diskusi Jurnal Universitas ilmiah tentang politik. Sedangkan dari seluruh Usenet, posting-posting masyarakat yang oposisi atau anti terhadap pemerintah mereka ternyata hanya 8.5%. Ini berarti bahwa meskipun Internet adalah suatu media yang merdeka, bebas, dan anti represi, ternyata ketakutan terhadap informasi yang merupakan ekspresi publik yang dikhawatirkan dapat menggoyahkan pemerintah adalah ketakutan yang berlebih-lebihan. Disamping itu Hill dan Hughes (1998) juga menemukan bahwa posting-posting anti pemerintah makin sedikit terjadi terhadap pemerintah yang memiliki indeks demokrasi yang baik, dan makin banyak pada pemerintah yang makin otoriter.

Negara-negara Muslim sebagian besar adalah negara berkembang. Di negara-negara berkembang, di mana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan praktek yang banyak dilakukan oleh pejabat-pejabatnya, maka telematika dapat membuat proses-proses administrasi pemerintahannya lebih transparan (Talero, 1997). Kesimpulan ini didasarkan atas kajian-kajian Katz dan Lieber (1985) yang menyimpulkan bahwa: “Where our existing information systems seek to choke the flow of information through taboos, costs, and restrictions, the new digital world celebrates the right of the individual to speak and be heard - one of the cornerstones behind democracy. Where our existing political institutions are viewed as remote and unresponsive, this online culture offers the means for individuals to have a genuine say in the decisions that affect their lives. Where conventional politics is suffused with ideology, the digital world is obsessed with facts. Where our current political system is irrational, awash in hypocritical god-and values talk, the Digital Nation points the way toward a more rational, less dogmatic approach to politics. The world's information is being liberated, and so, as a consequence, are we”. Jelas di sini bahwa eksposur yang meluas dari telematika merupakan kontributor besar terhadap demokratisasi negara-negara Muslim yang pada akhirnya meningkatkan tingkat partisipasi rakyatnya dalam proses-proses politik dan pemerintahan di negara-negara tersebut.
Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa tidak ada korelasi antara agama Islam dan penetrasi telematika. Sedangkan korelasi antara jumlah umat Islam dengan penetrasi juga berkorelasi sangat rendah. Namun korelasi antara demokrasi dan telematika sangat tinggi, sehingga rendahnya difusi telematika di negara-negara Muslim disebabkan oleh rendahnya demokrasi di negara-negara tersebut. Padahal sebaliknya juga terlihat bahwa telematika adalah variabel fasilitator yang sangat kuat pengaruhnya terhadap demokratisasi. Meskipun ditemukan bahwa telematika memiliki dampak yang negatif dan dapat mengancam legitimasi pemerintah-pemerintah otoriter, namun telematika adalah juga sebuah kanal terbuka yang memungkinkan meningkatnya partisipasi rakyat dalam kebijakan-kebijakan publik sehingga pemahaman masyarakat terhadap hak-hak dan tanggung-jawabnya dapat meningkat. Peningkatan ini secara langsung akan berdampak meningkatnya kualitas aset manusia karena meningkatnya kecerdasan dan kreativitas yang pada akhirnya meningkatkan status ekonomi dan politik suatu bangsa umumnya, dan umat Islam khususnya.

Comments (0)

Posting Komentar